Penulis: Aldi Ardilo Alijoyo, MBA, QRMP, CGP

Tata kelola, manajemen risiko, dan kepatuhan (GRC) merupakan sebuah pendekatan terpadu. Ketiga pilar tersebut bekerja sama dengan tujuan memastikan objektif organisasi tercapai melalui optimalisasi dari sisi sumber daya insani dalam organisasi, proses, dan teknologi.

Penerapan tata kelola, pengelolaan risiko, dan pelaksanaan kepatuhan yang tidak terintegrasi menimbulkan koordinasi yang lemah dan inefisiensi biaya. Sebaliknya, penerapan yang terintegrasi dapat menjadi solusi bagi perusahaan. Hal ini turut didukung oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyelenggarakan Focused Group Discussion (FGD) dengan tema “Membangun GRC yang efektif dan solusi praktis untuk Indonesia” pada tanggal 9 November 2017. Dilihat dari FGD yang diselenggarakan, OJK ingin menindaklanjuti penerapan GRC melalui sosialisasi GRC kepada semua pelaku bisnis, khususnya industri jasa keuangan, dengan pemahaman bahwa implementasi yang mereka lakukan akan meningkatkan kinerja secara holistik atau menyeluruh.

Dalam kondisi ekonomi global—khususnya nasional—efisiensi dalam pelaksanaan tata kelola perusahaan, manajemen risiko, dan kepatuhan secara terintegrasi telah menjadi faktor yang sangat dibutuhkan. Tertulis pada Undang-Undang OJK Pasal 5 bahwa OJK berfungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, yaitu perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non-bank (IKNB). Namun, berdasarkan kesimpulan dari tindak lanjut FGD tersebut, sosialisasi GRC perlu diprioritaskan karena 3 sektor industri jasa keuangan, pengurus perusahaan dan pelaku bisnisnya terutama IKNB, belum semua memahami konsep GRC.

Pada pertengahan tahun 2015, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa total aset 50 konglomerasi keuangan nasional mencapai 5,142 trilliun rupiah atau 70,5% dari total aset industri jasa keuangan yang terdaftar di Indonesia dan mencapai 7,298 trilliun rupiah. Dengan maraknya globalisasi pada bidang ekonomi dan teknologi informasi, aktivitas lembaga jasa keuangan pun telah berkembang menjadi sistem keuangan yang kompleks, dinamis, dan saling terkait antar sektornya. Kondisi itu menyebabkan meningkatnya eksposur risiko jasa keuangan nasional.

Dalam tindak lanjutnya, OJK menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 17/POJK.03/2014 tentang Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan. Melanjutkan peraturan tersebut, OJK mengeluarkan POJK No. 18/POJK.03/2014 tentang Penerapan Tata Kelola Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan. Setelah itu, OJK pun banyak mengeluarkan undang-undang terkait penerapan GRC di Indonesia yang berguna untuk mewujudkan stabilitas sistem keuangan agar tumbuh secara berkesinambungan, sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional.

Tahun ini pun, sudah ada regulasi baru terkait dengan manajemen kepatuhan secara khusus di industri asuransi di Indonesia. POJK No. 73/POJK.05/2016 Pasal 7 ayat 1 menyatakan secara tersirat bahwa perusahaan perasuransian wajib memiliki seorang direktur kepatuhan paling lambat 3 tahun sejak POJK ini diundangkan. Artinya, perusahaan perasuransian harus memiliki direktur keuangan per Oktober 2019. Hal ini juga semakin menekankan penerapan tata kelola dan pengelolaan risiko yang tepat saja tidak akan cukup untuk bersaing tanpa adanya pelaksanaan kepatuhan yang terintegrasi di dalamnya.